Begini.., Di dalam Hadits Sunan At-Tirmidzi, tidak hanya seorang ahli hadits dari para sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dan para tabi’in berkata: Yang artinya: “Seorang laki-laki (boleh) membaca Al-Qur’an atas selain wudhu’ (dengan tidak berwudhu)”.
Di dalam hadits Sunan Tirmidzi memang ada sebuah pendapat yang menerangkan kalau membaca Al-Qur’an sambil memegang Kitab Al-Qur’an hendaknya ia berwudhu terlebih dahulu, yaitu menurut Sufyan As-tsauri, dan Syafi’i, dan Ahmad, dan Ishaq, yang berbunyi:
Yang artinya: “Dan jangan membaca dalam Mush-haf (membaca sambil memegang Kitab Al-Qur’an) kecuali dia keadaan suci (tidak dalam keadaan haid atau junub)”.
Pendapat di atas hendak menunjukkan lebih pada ta’dhzim (mengagungkan / menghormati) terhadap Kitab Suci Al-Qur’an.
Di dalam Hadits Sunan Nasa’i Juz 1 hal 144, Ali berkata :
Yang artinya: “Rosuululohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam pernah keluar dari W.C (Water Clause) terus membaca Al-Qur’an, dan makan daging dan tidak ada sesuatu yang menghalang-halangi beliau untuk membaca Al-Qur’an kecuali keadaan Junub”.
Yang artinya: “Adalah Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam membaca Al-Qur’an disetiap ada kesempatan selama beliau tidak dalam kondisi sedang junub”.
Cinta Al-Qur’an, adalah hamilul qur’an, ahlullooh
Di dalam Hadits Sunan Tirmidzi, Juz 1, hal 98, yang berbunyi:
Yang artinya: “Adalah Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam membacakan Al-Qur’an pada kami atas setiap keadaan (kapan saja) selama beliau tidak sedang junub”.
Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda dalam Hadits Sunan Ibnu Majah Juz 1 hal 195, yang berbunyi:
Yang artinya: “Orang junub dan orang haid jangan membaca Al-Qur’an (baik secara hafalan maupun dengan memegang mushaf)”.
Di dalam Hadits Sunan Ibnu Majah Juz 1 hal 195, yang berbunyi:
Yang artinya: “Rosulullohi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam pernah mendatangi W.C terus beliau menyelesaikan hajatnya kemudian beliau keluar lalu beliau makan roti dan daging bersama kami dan beliau langsung mebaca Al-Qur’an (tidak berwudhu)”.
Adapun pengertian ayat 77-79 dari surat Al Waaqi’ah, No. Surat: 56, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada Kitab yang terpelihara (dilauh Mahfudhz), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan (Malaikat)”.
Perhatikan kalimat “tidak menyentuhnya” itu artinya “tidak tersentuh” bukan “tidak boleh menyentuhnya”. Sedang kalimat “hamba-hamba yang disucikan” maksudnya: Malaikat-malaikat. Kalimatnya bukan “hamba-hamba yang suci” dalam pengertian orang-orang yang berwudhu. Yang dimaksud ayat itu adalah Al-Qur’an yang asli/induk yang disimpan di Lauhim Mahfudhz (papan terjaga), yang pernah dibawa oleh malaikat Jibril pada waktu tadarusan bersama Rosululloh setiap bulan Romadhon, yang hanya bisa dipegang oleh malaikat-malaikat dan Jibril saja. Perhatikan firman Alloh dalam Al-Qur’an, Surat ‘Abasa, No. Surat: 80, Ayat: 11-16, yang berbunyi:
Yang artinya: “Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah suatu peringatan, maka barang siapa yang menghendaki tentulah dia mengingatnya di dalam mush-haf yang dimuliakan (Kitab dari Lauhul Mahfuudhz), yang di tangan penulis (malaikat Jibril) yang mulia lagi baik”.
Dapat di lihat firman Alloh dalam Al-Qur’an Surat Al-Buruuj No. Surat: 85, Ayat: 21-22, yang berbunyi:
Yang artinya: “Bahkan itu adalah Qur’an yang agung di dalam Lauhim Mahfuudhz (papan yang dijaga).
Lihat Hadits Shohih Bukhori Juz 3 hal 33, yang berbunyi:
Yang artinya : Ibni Abbas berkata: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam adalah manusia yang paling semangat terhadap kebaikan, beliau paling semangat di bulan Romadhon yaitu pada sa’at malaikat Jibril Alaihis Salaam sedang menemuinya. Malaikat Jibril selalu menemuinya setiap malam pada bulan Romadhon sampai bulan Romadhon selesai, Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan Al-Qur’an (minta dikoreksi) pada malaikat Jibril Alaihis Salaam (Jibril sambil memegang Al-Qur’an induk). Pada sa’at akan bertemu dengan malaikat Jibril Alaihis Salaam itulah beliau lebih semangat ketimbang angin yang dilepas”.
Jika pengertian hamba-hamba yang disucikan dalam ayat 79 itu adalah setiap orang yang mau memegang Al-Qur’an harus berwudhu’ alangkah sulitnya ini bagi si Penjual Al-Qur’an. Betapa malasnya sang anak ketika ia disuruh oleh orang tuanya untuk mengambilkan Al-Qur’an, jika ia harus berwudhu terlebih dahulu. Belum lagi kalau tiba-tiba ada Al-Qur’an yang jatuh dari suatu tempat sementara kita tidak punya wudhu, repot amat kalau harus berwudhu dulu, dll. Dan tidak ada satu buah hadits pun yang menerangkan tentang sangsinya orang yang tidak berwudhu memegang Al-Qur’an. Yang jelas pengertian bahwa kalau mau memegang Al-Qur’an harus berwudhu terlebih dahulu itu bertentangan dengan hadits-hadits yang menceritakan bahwa Rosululloh sendiri tidak berwudhu jika akan memegang atau membaca Al-Qur’an. Pengertian bahwa setiap orang yang akan memegang Al-Qur’an harus berwudhu, itu harus dipatahkan, karena dapat menghambat bagi setiap orang yang ingin mencintai membaca Al-Qur’an. Membuat orang menjadi enggan menyentuh Al-Qur’an, apalagi membacanya.